Header Ads

Biografi Kyai Sholeh Bahruddin


KH. M. Sholeh Bahruddin dilahirkan di desa Ngoro Kabupaten Mojokerto pada
hari Sabtu, 25 Sya’ban tahun 1372 H atau bertepatan pada tanggal 09 Mei
tahun 1953 M. Ayahnya bernama KH. Mohammad Bahruddin (almarhum) kelahiran
Juwet-Porong-Sidoarjo, 1346 H/1926 M dan ibunya bernama Siti Shofrotun
putri K. Imam Asy’ari Ngoro-Mojokerto. Beliau mempunyai 11 saudara, yaitu:
1. KH. M. Sholeh Bahruddin sendiri
2. Muhammad Anshori :
3. KH. M. Mansyur : Ngembe-Dlanggu-Mojokerto
4. Muhammad Ghufron (almarhum) : Sugeng-Trawas-Mojokerto
5. Siti Maryam : Carat-Gempol-Pasuruan
6. Muhammad Dhofir : Modopuro-Mojosari-Mojokerto
7. Muhammad Ridwan :
8. Ahmad Fatah :
9. Siti Habibah :
10. Muhammad Misbah : Carat-Gempol-Pasuruan
11. Siti Munifah :
Sejak kecil KH. M. Sholeh Bahruddin belajar di rumah diajar langsung oleh ayahnya sendiri dan guru-guru lainnya. Selanjutnya ketika menginjak dewasa beliau disuruh ayahnya untuk menuntut ilmu kepada Kyai Syamsuddin Ngoro-Mojokerto, yang merupakan paman dari KH. M. Sholeh Bahruddin sendiri. Setelah dirasa cukup beliau berguru pada beberapa kyai, diantaranya sebagai berikut:
1. Kyai Qusairi : Mojosari-Mojokerto-Jawa Timur
2. Kyai Bahri : Sawahan-Mojosari-Mojokerto-Jawa Timur
3. Kyai Jamal : Batho’an-Mojo-Kediri-Jawa Timur
4. Kyai Musta’in : Peterongan-Jombang-Jawa Timur
5. Kyai Iskandar : Kandangan-Ngoro-Jombang-Jawa Timur
6. Kyai Muslih : Mranggen-Semarang-Jawa Tengah
7. Kyai Munawir : Tegal Arum-Kertosono-Nganjuk-Jawa Timur
Jejak Perjuangan Sang Kyai Di Bumi ”Ngalah”
A. Pendahuluan
Setelah menempuh pendidikan dari perbagai Pesantren, Dan pada usia 22 tahun, tepatnya pada tahun 1975, beliau menikah dengan Ny. Hj. Siti Sa’adah dari Krandon, Kerjo, Karangan, Trenggalek, yang mana kalau ditelusuri dari garis keturunan antara keduanya, menjadi satu saudara pada garis keturunan Nyai Salimah. Hingga sekarang dari hasil perkawinan, beliau dikaruniahi 10 anak, diantaranya: Siti Muthoharoh, Atik Hidayatin, Ahmad Syaikhu, Siti Faiqoh, Luluk Nadhiro, Ahmad Faishol (alm.), Siti Khurotin, M. Bustomi (alm.), Siti Hajar dan terakhir Siti Nuronia.
Romo KH. Sholeh Bahruddin bukan hanya sekedar ulama yang nyantri 5 – 10 tahun saja, dan bukan pula ulama’ yang nyantri dari 3 atau 4 pesantren saja. Sejak kecil beliau sudah bergelut dengan lingkungan Pesantren, mulai dari Pesantren ayahandanya sendiri, Pesantren kakeknya, sampai Pesantren para ulama sepuh yang mempunyai kharismatik tinggi di tanah Jawa pernah beliau jajaki.
Dari berbagai latar belakang pesantren yang pernah beliau jadikan pelabuhan hati itulah, pada akhirnya beliau ramu dalam satu ramuan mujarab di Pesantrennya sehingga akhirnya menjadi sebuah pesantren multikultural (beragam budaya), yaitu pesantren Ngalah.
Pada tahun 1985 beliau mendirikan lembaga pendidikan Pondok Pesantren Ngalah. Selain beliau sebagai Pendiri dan ketua umum Yayasan Darut Taqwa Sengonagung Purwosari Pasuruan beliau juga menjabat sebagai musytasar NU cabang Pasuruan 2006 – 2010 M. Dalam menjalankan amanah, beliau sebagai pendiri dan pengasuh mempunyai prinsip atau motto ngayomi lan ngayemi terhadap sesama.
Dengan lembaga yang didirikan mulai TK sampai Universitas Yudharta beliau mempunyai tujuan dan harapan untuk mencerdaskan bangsa dan mempertahankan nilai-nilai Pancasila sekaligus mencetak santri yang berotak Jepang dan berhati Madinah atau dengan bahasa Pesantrennya fiddunnya hasanah wafil akhiroti hasanah yang bermuara pada waqina adabannar.
Untuk mendirikan Pondok Pesantren itu tidak semudah yang kita bayangkan, seperti halnya membalikkan telapak tangan tetapi perlu adanya usaha keras dan diikuti dengan kesabaran sekaligus perlu kepiawaian yang tinggi, apalagi didalamnya terdapat berbagai macam atau model pendidikan yang diterapkan, mulai model salaf sampai model kholaf, dan disamping itu juga diajarkan ilmu thoriqoh yang menjadi pondasi keimanan dan ketauhidan seorang hamba. Hal ini menunjukkan betapa sempurnanya ilmu yang dimiliki oleh seorang kyai yang mampu memberikan pendidikan yang multicultural kepada semua santrinya. Dan ini membutuhkan waktu yang cukup lama dan panjang serta butuh kesabaran untuk mengukir dan mewujudkan semua itu.
A. Pemberian Amanah Menuju ”Ngalah”
Setelah beliau menikah pada tahun 1975 diusianya yang ke 22, beliau tidak lantas mengaktualisasikan ilmunya ditengah-tengah kehidupan yang lebih nyata, mengasingkan diri dari dekapan kedua orang tuanya dan hijrah untuk berjuang menyebarkan syariat Islam dipergumulan orang-orang yang masih membutuhkan media untuk mentransfer hidayah Tuhan masuk kedalam hati sanubari mereka, merubah kultur budaya masyarakat yang jauh dari tuntunan syariat.
Beliau yang sudah menikah mulai berfikir akan perekonomian keluarga yang dibinahnya, bergeraklah beliau untuk membuka usaha untuk menopang ekonomi keluarga dirumahnya, dengan modal yang sedikit beliau mencoba keberuntungannya untuk berdagang berbagai macam kebutuhan bangunan, dimulailah perdagangan itu dengan menyediakan batu kapur dan sedikit kayu glugu. Namun Tuhan berkata lain dan menurunkan ujian kepada beliau dengan diberi kesuksesan dan keberhasilan dalam usaha beliau, sehingga dengan waktu yang cukup singkat beliau mampu mengembangkan usahanya dan mendapatkan keuntungan yang melimpah. Pada dasarnya keuntungan dan keberhasilan dalam berdagang selalu beliau harapkan dan itu semua tentu saja menjadi harapan semua orang apalagi orang tua yang biasanya bahagia melihat kesuksesan anaknya. Namun berbeda dengan beliau dan kedua orang tuanya, beliau justru melihat semua itu merupakan ujian dari Allah SWT yang bisa membuat beliau melupakan tanggung jawab dan kewajibannya untuk mendampingi dan membantu orang tua beliau dalam mengajar dan mendidik para santri di pesantren ayahnya. Dengan kesibukan beliau akan pencarian dan penerimaan karunia Tuhan itu, suatu ketika beliau meninggalkan kewajibannya untuk mengajar dan mendidik santri ayahnya, seketika itu beliau dipanggil oleh ayahnya dan ditegur dengan nada penuh dengan kemarahan. Ayah beliau bertanya ”teko endi koen kok gak ngajar mangko” beliau menjawab dengan sopan ”ndugi kilaan pak” mendengar jawaban sang putra Mbah Kyai Bahruddin Kalam atau ayah beliau langsung memarahi beliau ”terusno.... tak obong tokomu”, sungguh tauladan yang perlu kita petik hikmahnya, dimana kepentingan akhirat harus didahulukan dari pada kepentingan dunia, dan kepentingan orang lain lebih diutamakan dari pada kepentingan pribadi.
Hari demi hari beliau merasa gunda mendengar perkataan orang tuanya. Bagaimana tidak keberhasilan yang selalu diharapkan ternyata tidak bisa membuat orang tua beliau senang melihatnya, tapi justru membuat sedih dan marah. Itulah kesedihan beliau yang mendalam. Namun bagaimanapun juga beliau adalah hamba Tuhan yang selalu diberi petunjuk, sehingga pada akhirnya beliau menyadari bahwa dalam menjalani kehidupan ini tidak ada ujian dan cobaan yang berat untuk taat kepada kedua orang tua dan kepada Tuhannya selain ujian dan cobaan yang bersifat kenikmatan dan kesenangan. Dengan kenikamatan dan kesenangan orang akan lupa kepada perintah Tuhan dan bisa membuat dirinya berlaku sombong dan menghilangkan kepatuhan kepada kedua orang tuanya.
Disaat kebingungan menyelimuti alam pikiran beliau, terbersitlah hidayah Tuhan, sehingga beliau memutuskan untuk mencari sebuah ketenangan batin yang lebih hakiki, pergilah beliau untuk ”manjing suluk” menuntaskan ilmu thoriqohnya pada Mbah KH. Munawir Kertosono, tepatnya pada tahun 1984 M, setelah ”manjing suluk” selesai akhirnya beliau mendapatkan mandataris kemursyitan sebagai guru thoriqoh Naqsyabandiyah, Qodiriyah, kholidiyah, wal mujadadiyah.
Kesempurnaan beliau sebagai guru thoriqoh membuat hati sang guru yaitu Mbah KH. Munawir menguji akan kesetiaan beliau sebagai seorang murid, dipanggilah beliau oleh Mbah KH Munawir dan beliau diberi amanah yang cukup bertentangan dengan nafsu duniawi, dimana pada saat itu perekonomian keluarga beliau sudah mulai terbangun, tiba-tiba sang guru menyuruh beliau untuk meninggalkan semuanya; berkatalah sang guru “Koen iku anak barep, ojo gembol uwong tuwomu, dulurmu sek akeh, sak aken adik-adikmu kate manggon nangdi, wong tanahe bapakmu yo mek sak munu, beliau menjawab dospundi kale bapak? Sang guru menegur ”uwong tuwomu opo jare aku, kuwe gelem tak toto leh” beliau menjawab ”inggih” sang guru mengatakan ”kuwe nek gelem Ngalah barokah..!!”. beliau menjawab lagi dengan kepatuhan ”inggih”, dari situlah muncul sebuah doa yang terucap dari sang guru ”Ngalah barokah, ...Ngalah barokah,... Ngalah barokah”.
Tidak lama kemudian beliau minta izin pulang kerumah ayahnya, dan Mbah KH. Munawir berpesan ”nek wes tutuk omah warahen bapakmu kongkon mrene”. Setelah sampai dirumah beliau menceritakan kepada ayahnya apa yang telah diperintahkan oleh sang guru (Mbah KH. Munawir) kepadanya. Mbah KH. Bahruddin yang juga masih termasuk keponakan dari Mbah KH. Munawir langsung pergi ke Kertosono untuk menemui beliau, sesampainya Mbah KH. Bahruddin disana, Mbah KH. Munawir berkata kepada beliau ”anakmu soleh ojok digembol ae, culno jarno arek iku cek ngaleh” beliau menjawab ”inggih nderek aken”. Setelah perbincangan antara keduanya selesai, akhirnya Mbah KH. Bahruddin pulang, dan sesampainya dirumah beliau langsung memanggil Romo KH. Soleh Bahruddin dan memberikan sebuah wejangan akan beberapa hal yang harus beliau lakukan dalam menjalankan perintah sang guru.
Dengan diiringi doa restu yang tulus, melepaskan anaknya untuk pergi berjuang menyampaikan kalam Tuhan, beliau berpesan;
Kowe yen dholek panggunan kudu ora ado lan ora jedek songko pasar
(Kamu kalau mencari tempat jangan yang terlalu jauh dan terlalu dekat dengan pasar)
Panggunan mau ora adoh songko dalan sepur (Stasiun)
(Tempat itu juga tidak jauh dari stasiun)
Panggunan mau ora adoh songko ratan
(Tempat itu juga tidak jauh dari jalan raya)
Panggonan mau ora adoh songko banyu.
(Tempat itu juga tidak jauh dari sungai)
Panggunan mau seng penduduk’e isih tipis imane
(Tempat yang penduduk atau warganya masih banyak yang belum beriman)
Panggonan mau durung ono bangunan masjid.
(Tempat itu masih belum ada masjidnya)
Lan panggonan mau kudu ono pinggir tengene dalan.
(dan tempat itu harus berada disebelah kanan jalan)
Belum kering rasa kegelisahan untuk mengawali perjuangan, pindah dari dekapan orang tua, jauh dari keluarga yang selalu memberikan perlindungan sesuai dengan amanah sang guru, hati dan pikiran beliau tambah bergejolak rasa kebingungan sesaat setelah menerima pesan dari orang tuanya itu. Dalam hati beliau bertanya-tanya kemana aku harus mencari tempat yang sesuai dengan petunjuk sang ayah itu.
Namun dengan latar belakang ketaatan seorang anak yang selalu berbakti kepada guru dan orang tua, beliaupun tidak pikir panjang dan banyak komentar, dengan Bismillah dan percaya akan pertolongan Allah yang selalu menolong hamba-Nya, perintah itupun dilaksanakan dengan meminta restu kepada orang tuanya ”Pangestunipun”, ”iyo wes budalo tak pangestoni” hanya doa itulah yang mengiringi beliau dalam menunaikan perintah sang guru dan orang tuanya.
A. Langkah Kaki Menuju Bumi “Ngalah”
Langkah kaki beliau mulai berjalan, menyusuri berbagai tempat untuk mencari lokasi perjuangan. Namun untuk menemukan lokasi yang persis dengan isi amanah sang ayah itu sangatlah sulit. Hari demi hari beliau lalui dengan mencari informasi kesana kemari melangkahkan kaki sesuai dengan kata hati.
Dalam masa pencarian itu, tentunya banyak kisah pahit yang beliau alami, karena memang mencari tempat yang sesuai dengan amanah itu tidak semudah yang kita bayangkan, butuh sebuah perjuangan dan waktu yang cukup panjang serta sangat melelahkan.
Bisa kita banyangkan betapa sulitnya mencari dan menemukan tempat seperti itu, ibarat mencari sebuah permata beliau mencari permata yang ada didasar laut dengan berbagai kreteria dan bentuknya, dan dengan peralatan yang sangat sederhana. Sungguh hal itu sangatlah melelahkan.
Setelah beberapa waktu telah beliau lalui, beberapa tempat sudah beliau kunjungi, kepergian beliau menyisir kota sidoarjo, probolinggo, jember, banyuwangi, dan lain sebagainya, sudah cukup menyita waktu dan sangat lelelahkan, namun tempat perjuanganpun tak kunjung beliau temukan, sesekali beliau merasa lega ketika ada beberapa tempat yang beliau kunjungi terdapat ciri-ciri yang agak sesuai dengan isi amanah, namun setelah beliau perhatikan dengan seksama ternyata ada satu dan dua kreteria yang tidak terdapat dalam lokasi itu, hal itu terjadi berulang kali, sehingga terkadang terbersit pula di hati beliau rasa keputus asaan untuk mencari dan menemukan lokasi yang persis dengan isi amanah itu, sampai pada akhirnya beliau matur (bilang) kepada ayahnya. “Pak, mboten enten tempat seng kados niku” (pak tidak ada tempat yang sesuai dengan amanat itu), kemudian ayahnya menjawab dengan singkat, “Onok, golek ono maneh!” (ada, cari lagi). Dengan tabah dan sabar beliau jalani lagi perintah sang ayah, dengan menyusuri berbagai daerah, mencari pijakan kaki perjuangan, namun lagi-lagi beliau masih belum juga menemukan lokasi itu, sampai pada akhirnya rasa keputus asaan menyelimuti hati beliau kembali, rasa gunda dan gelisa selalu menemani beliau, rasa takutpun muncul untuk mengatakan kegagalannya dalam mencari tempat perjuangan yang kedua kalinya kepada sang ayah, akan tetapi apa boleh buat, kesulitan beliau pada akhirnya mendorong keberanian untuk mengatakan yang sesungguhnya, namun lagi-lagi jawaban sang ayah tetap sama dengan yang pertama “Onok, golek ono maneh!” (ada, cari lagi). Sungguh jawaban yang menguji sebuah ketabahan dan kesabaran hati seseorang untuk menjalankan sebuah perjuangan.
Jawaban yang selalu sama dari sang ayah membuat beliau bingung dan bimbang, apakah bisa mencari tempat yang sesuai dengan amanat tersebut, termenunglah beliau dalam keadaan gunda dan gelisa, dan di hati kecil beliau berkata; “Aku golek nangdi maneh, tempat seng koyok ngono, padahal aku wes nangdi-nangdi sek gak nemu ae tempat seng koyok ngono, cek sorone amanah iki”. (Aku mencari kemana lagi, padahal aku sudah kemana-mana masih belum ketemu saja tempat seperti itu, kok begitu berat amanah ini). Namun bagaimanapun juga beliau (Romo Kyai Sholeh) adalah seorang anak yang selalu patuh terhadap orang tua dan guru, sehingga bagaimanapun beratnya amanah itu, tetap beliau jalani dengan sungguh-sungguh dan dengan keikhlasan dan ketabahan serta kesabaran hati, tidak mengenal waktu dan lelah, beliau terus berjalan menyusuri beberapa kota dan pelosok desa, sampai pada akhirnya beliau beranggapan bahwa hamparan pulau Jawa ini begitu sempit untuk mencari lokasi yang sesuai dengan amanah sang ayah, dan terfikirlah dibenak beliau untuk hijrah dan mencari lokasi di luar Jawa.
Namun keinginan beliau untuk hijrah ke luar Jawa ternyata tidak diizinkan oleh kehendak Tuhan, sehingga beliau mencoba kembali mengundi keberuntungan, pergi melangkahkan kaki menyisir kota Mojokerto, setelah beberapa hari dan beberapa tempat sudah beliau kunjungi, lagi-lagi lokasi itupun tak kunjung saja beliau jumpai.
Dengan sabar dan tabah beliau terus jalani perintah itu, langkah kaki terus beliau ikuti sampai pada suatu ketika, disaat rintik-rintik hujan mulai membasahi bumi dan menemani perjalanan beliau, dari situ terdoronglah beliau untuk mencari tempat berteduh, dan berhentilah beliau ke rumah salah satu santri ayahnya di Pesanggrahan Ketidur Mojokerto yang bernama bapak Solikhin. Disitu beliau menceritakan semua tujuan dan maksud kepergian beliau ke Mojokerto yaitu ingin mencari tempat dengan beberapa kreteria yang sesuai dengan amanah sang ayah. Setelah mendengar cerita beliau akhirnya pak Solikhin menunjukkan beberapa tempat lagi, di antaranya yang terletak di Kutorejo, Bendengan, Pungging, dan Sumber Kembar Pacet. Setelah beliau mendapatkan informasi tempat itu, keesokan harinya semuanya beliau kunjungi, dan lagi-lagi semua tempat itu masih juga tidak cocok dan tidak sesuai dengan isi amanah. Melihat begitu sulitnya mencari lokasi tersebut, akhirnya pak Solikhin memberikan saran kepada beliau untuk minta petunjuk kepada sang ayah, arah mana yang harus dilalui untuk mencari lokasi itu.
Setelah cukup lama beliau melakukan perjalanan, beliau lantas pulang kembali dengan membawah kegagalan lagi, rasa capek membuntuti badan beliau, beristirahatlah beliau dalam suasana penuh kegelisaan. Keesokan harinya, sesuai dengan saran pak Solikhin, beliau mencoba memberanikan diri untuk meminta petunjuk kepada sang ayah, arah mana yang harus beliau tempuh dalam mencari lokasi itu. Dengan rasa kasihan melihat anaknya yang sudah malang melintang kesana kemari menjalankan perintahnya, akhirnya sang ayah pun memberikan sedikit petunjuk, dengan mengatakan ”melakuo ngidul” (berjalanlah kamu kearah selatan). Dari petunjuk sang ayah itulah beliau mulai sedikit menemukan jalan terang untuk menemukan lokasi perjuangan itu, seakan menemukan tongkat yang bisa memberikan petunjuk jalan.
Sebagaimana petunjuk sang ayah, beliau kembali mencari tempat perjuangan itu. Berjalanlah beliau kearah selatan dari tempat tinggal beliau di Carat Gempol, dan mengundi keberuntungan dengan menyisir kota Wlingi Blitar, namun lagi-lagi beliau tidak menemukan tempat yang sesuai dengan apa yang beliau cari. Tanpa mengenal putus asa beliau terus mencari dan mencari, langkah kaki beliau terus mengajak untuk menyusuri setiap jalan yang bisa dilalui.
Dan pada suatu hari pencarianpun beliau lanjutkan kembali dengan menyisir kota Malang. Setelah beberapa desa dan tempat sudah beliau jelajahi, namun tempat yang beliau cari masih belum ditemukan, disaat rasa kecape’an dan keringatpun mulai bercucuran, maka pencarianpun beliau hentikan, bergegaslah beliau untuk pulang dan beristirahat mengumpulkan stamina untuk bekal pencarian hari esok.
Namun ketika di tengah-tengah perjalanan beliau menuju rumah, rasa kasihan Tuhan mulai diturunkan kepada hamba-Nya yang selalu tabah dan sabar itu, dengan pertolongan serta hidayah dari Allah SWT, akhirnya langkah kaki dan niat beliau untuk langsung pulang terhentikan di sebuah pasar yang terletak di Purwosari. Untuk menghilangkan rasa capek, rasa dahaga dan lapar, bersinggahlah beliau kesalah satu warung yang ada di sekitar pasar itu, memesan secangkir kopi dan makanan di sela-sela itu terjadilah perbincangan antara beliau dan pemilik warung itu, yang bernama Pak Mukhtar, pada awal mulanya beliau ditanya oleh pemilik warung itu ”sangking pundi panjenengan” dari mana anda, beliau menjawab ”sangking Carat” dari Carat, tanpa beliau sangka dan beliau sadari ternyata pemilik warung itu mengenal ayah beliau dengan menanyakan ”napane Kyai Bahruddin” sebelah mananya Kyai Bahruddin, dengan menutup diri beliau menjawab ”kulo tanggine” saya tetangganya. Perbincangan semakin panjang, sampai pada akhirnya beliau mencurahkan keinginannya untuk mencari sebidang tanah yang akan dijadikan tempat tinggal, dan lama-kelamaan terbongkar juga, kalau beliau adalah putra Mbah KH. Bahruddin Kalam yang akan membuka lahan perjuangan baru.
Malaikat mulai diturunkan oleh Tuhan untuk menggugah hati pak Mukhtar sehingga rasa kasihanpun muncul dibenak hatinya, dan akhirnya dia menunjukkan bahwa ada sebuah stasiun yang terletak tidak jauh dari pasar sini (Purwosari), tepatnya di Desa Sengonoagung dan mungkin saja disana ada sebidang tanah yang cocok (sesuai dengan apa yang dicari) dan bisa dijadikan tempat tinggal sekaligus madrasah.
Dengan ditemani pak Khojin Ngoro mojokerto akhirnya beliau melanjutkan kembali pencarian lokasi itu, mengurungkan niatnya untuk langsung pulang, sekitar jam 12 siang atau pada saat adzan dhuhur berkumandang tibalah beliau berdua di Perempatan Sengon sesuai dengan petunjuk pak Mukhtar tadi, dan untuk melaksanakan panggilan Tuhan beliau bersinggah dan memunaikan kewajibannya sebagai seorang muslim di mushollah yang terletak ditepi sungai.
Pada awalnya beliau sempat ragu lagi untuk bisa menemukan lokasi perjuangan yang sesuai dengan isi amanah sang ayah, sebab pada saat itu beliau melihat ada sebuah masjid yang berdiri kokoh disebalah timurnya jalan raya. Namun seakan ada sebuah magnet yang memanggil beliau untuk terus berjuang meneruskan pencarian, sehingga tanpa putus asa dan tanpa mengenal lelah setelah selesai sholat pencarian beliau lanjutkan, berjalanlah beliau kearah barat Sengon dengan terus memperhatikan kondisi dan lingkungan disekitarnya, setelah bertanya ke beberapa orang beliau mulai mendapatkan petunjuk, dan berputarlah beliau berjalan melewati sungai besar yang memisahkan antara desa Sengon dengan dusun Kembang Kuning, tidak lama kemudian sampailah beliau di dusun Kembang Kuning tersebut, dengan berjalan kaki beliau terus menyusuri dusun Kembang Kuning dengan selalu menoleh kanan kiri dan memperhatikan lingkungan disekitarnya, sampai pada akhirnya langkah kaki beliau berdua terhentikan dirumah salah satu warga yang terletak di pojok dusun yang bernama bapak H. Huri, dimana pada saat itu masih terdapat dua rumah saja yaitu rumahnya Bapak H. Huri dan rumah Mbok Saminah.
Disitu beliau mulai menemukan sebuah harapan besar, sebab pada saat itu beliau melihat ada hamparan tanah yang masih kosong tak berpenghuni, bersinggah beliau kerumah pak H. Huri itu untuk menanyakan apakah ada tanah yang dijual dan lain sebagainya, dari situ beliau ditunjukkan sebidang tanah milik pak Ali, setelah perbincangan selesai, beliau lantas bersinggah kerumah Pak Ali di dusun Kembang Kuning, dengan tujuan menanyakan tanahnya. Setibanya beliau dirumah pak Ali dan menanyakan lahan yang dimaksud, beliau mulai ragu lagi untuk bisa mendapatkan lahan perjuangan itu, pasalnya tanah yang dimaksud itu mau diwaqofkan jika untuk pembangunan masjid, hal itu mengingatkan beliau pesan sang ayah yang tidak membolehkan beliau untuk menerima tanah waqofan sebagai tempat perjuangan selama-lamanya, dan akhirnya beliau mengurungkan niatnya untuk bisa memiliki tanah pak Ali itu.
Karena melihat letak dusun Kembang Kuning yang sangat strategis dan sesuai dengan isi amanah yang berjumlah tujuh itu, sehingga tanpa putus asa beliau terus mencari lagi tanah kosong yang ada disekitar dusun itu yang dijual dan bisa dibeli. dengan menyisir dan mengelilingi kembali dusun Kembang Kuning, tibalah beliau dirumah Mbok Rondo bernama Nasiyah (Mbok Yah), disitu beliau melihat ada tanah kosong yang cukup luas dan berdekatan dengan jalan masuk desa antara Dusun Kembang Kuning dan Dusun Pandean yang dulunya pernah dijadikan tempat pembuangan kotoran ayam. Dengan rasa gembira dan sedikit lega beliau mencoba mendekati tanah tersebut.
Setelah tiba ditempat atau lokasi tersebut, beliau bertemu dengan salah satu warga kembang kuning yang bernama pak Raki yang pada saat itu sedang menyangkul sawah yang bersebelahan dengan lokasi, dengan sapaan yang santun beliau memulai perbincangan, mulai saling sapa, dan bertanya siapa yang mempunyai tanah ini?, dijual apa tidak? dan lain sebagainya.
Setelah perbincangan beliau berakhir dan menemukan jawaban yang memuaskan, berpamitlah beliau kepada mereka untuk pulang. Dan sesampainya beliau dirumah, dengan penuh kegembiraan dan rasa optimis beliau langsung menghadap kepada ayahnya untuk matur (berkata) kepada sang ayah; “Pak sampun wonten panggenan ingkang dipun kersa’aken” (Pak sudah ada tempat yang diinginkan). Kemudian sang ayah bertanya “Gek endi tempate?” (dimana tempatnya?), beliau menjawab; “Tempate wonten ing dusun Pandean deso Sengonagung kecamatan Purwosari (tempatnya di dusun Pandean desa Sengonagung kecamatan Purwosari), lalu sang ayah berkata; “Oh yo wes, kapan-kapan ayo didelok” (oh ya sudah... suatu saat ayo kita lihat). Setelah dirasa cukup beliau menjelaskan kepada sang ayah tentang kondisi dan tata letak lokasi, beristirahatlah beliau dengan ditemani bayangan-bayangan hari esok dalam perjuangannya menyebarkan kalam-kalam Tuhan.
Tanah atau lokasi yang sudah diceritakan oleh sang putra, dimana lokasi tersebut mempunyai kesesuaian dengan isi amanah yang telah diberikan, mulai tempatnya yang tidak terlalu jauh dan tidak terlalu dekat dengan pasar (pasar purwosari), tidak jauh dari stasiun (stasiun Sengon), juga tidak jauh dengan jalan raya, dan juga tidak jauh dari sungai (sungai jempinang), dan penduduknya yang masih kurang mengenal syariat agama, karena disebelah lokasi terdapat lokalisasi atau tempat berkumpulnya wanita dan laki-laki tanpa status, serta masih belum berdirinya bangunan masjid, tempat orang bersujud kepada Tuhan, sekaligus lokasi itu terletak disebelah kanan jalan, baik dari arah Surabaya maupun dari arah masuk Dusun Pandean, membuat ketidak sabaran sang ayah (Mbah KH. Bahruddin Kalam) untuk segera melihat dan membuktikan kebenaran cerita sang anak. Beberapa hari kemudian, sang ayah (Mbah KH. Bahruddin Kalam) mengajak sang putra (Romo KH. Soleh Bahruddin) untuk melihat lokasi tersebut. Berangkatlah beliau berdua untuk melihat lokasinya dan setelah melihat serta mengetahui lokasi tersebut sang ayah (Mbah KH. Bahruddin kalam) merasa cocok dan menganggap sesuai dengan apa yang diharapkannya, berkatalah beliau kepada sang putra; “Tempat seng koyok ngene iki seng tak karepno, iki jenenge pancor emas, tanahe mujur ngalor miring ngetan, iki masih njalok piroae tukuen, ojok di enyang, embuh yok opo caramu, (tempat yang seperti inilah yang aku harapkan, ini namanya pancor emas, tanahnya mujur (menghadap) ke utara agak miring ke timur, ini minta berapa saja harus kamu beli, jangan ditawar, entah bagaimana caramu).
A. Babat Tanah “Ngalah”
Setelah beliau berhasil menemukan tempat yang diharapkan dan sudah ditunjukkan kepada sang ayah, tepatnya pada bulan September 1984 M atau pada bulan Dhul Hijjah tahun 1404 H. Kebingungan dan kegelisaan serta beban beliau tidak malah berkurang atau ringan tetapi justru malah bertambah, dengan apa yang telah diucapkan oleh sang ayah, sebab pada saat itu beliau masih belum mempunyai cukup uang untuk membeli tanah milik Pak H. Wachid Anshori Mojo itu yang luasnya 4.740 m, sehingga dalam hati kecil beliau berkata: “Teko endi carane aku golek duwek gawe tuku tanah iku..??” (Dari mana aku harus mendapatkan uang untuk membeli tanah itu..??”). Pada saat itu beliau masih mempunyai uang 2 juta rupiah dan tanah tersebut di jual dengan harga Rp. 5.000.700 atau 1,055 permeternya.
Namun dengan tekad yang kuat pada akhirnya beliau mencoba kembali untuk mencari karunia Tuhan yang masih tersisa, dan beliau memberanikan diri untuk menemui dan merunding pemilik tanah tersebut, agar supaya bisa dibeli dengan cara diangsur, namun sayangnya beliau masih belum bisa mendapatkan persetujuan dari pemilik tanah itu. Tanpa putus asa dan sabar serta tabah beliau terus mengatur langkah dan strategi untuk bisa mewujudkan keinginan orang tuanya itu. Hari demi hari beliau jalani tanpa bosan untuk datang ke dusun Kembang Kuning dan Pandean, mengenalkan diri dan bersahabat dengan masyarakat sekitar.
Setelah cukup banyak orang yang beliau kenal disekitar dusun itu, barulah beliau menemukan jalan terang untuk dapat membeli tanah itu. Yaitu dengan mengenal salah satu warga Pandean yang bernama pak H. Supa’i yang merupakan sahabat dekat pemilik tanah tersebut, dan dengan bantuannya beliau mencoba kembali merunding pembelian tanah itu. Perundinganpun terjadi cukup alot, sipemilk tanah berucap kepada pak H. Supa’i”aku nyelengi tanah soro-soro yo emo nek diangsur”, (aku menabung tanah dengan susah payah, ya gak mau kalau diangsur) pemilik tanah masih menolaknya, tetapi setelah dijelaskan oleh pak H. Supa’i bahwa uang yang didapat dari seorang yang berjalan dijalan Tuhan pasti akan mendapatkan keberkahan. Tanpa disadari pak H. Supa’i berucap kepada sipemilik tanah tersebut ”duwek rong juta seng teko gus iku bakale barokah lan isok koen gawe tuku tanah maneh seng ombone telung hektar”, (uang dua juta yang berasal dari anak kyai itu akan membawah keberkahan dan bisa kamu buat beli tanah lagi yang luasnya tiga hektar).
Setelah sekian lama negosiasi itu berlanjut, akhirnya pemilik tanah tersebut membukakan pintu hatinya untuk menerima pembelian tanahnya dengan cara diangsur dan dibayar sebagai uang muka sebesar Rp. 2.000.000. Dan atas kehendak Tuhan, akhirnya keberkahan yang tidak sengaja diucapkan tadi menjadi sebuah kenyataan. Pak H. Wachid Anshori mendapatkan ganti tanahnya di daerah Puntir seluas tiga hektar dengan harga dua juta. Sungguh keberkahan beliau yang mulai ditampakkan oleh Tuhan.
Untuk meringankan beban beliau dalam membeli tanah dan mendirikan pondok pesantren baru itu yang juga merupakan pengembangan dari pondok pesantren Darut taqwa Carat, maka di bentuklah panitia pelaksana yang di ketuai oleh Mbah Kyai Bahruddin Kalam Sendiri, Bendaharanya Bapak M. Casbi, dan sekretaris pelaksana yaitu Bapak M. Sya’in.
Setelah tanah dapat beliau beli, beliau tidak lantas menempati dan membuka lahan perjuangan itu, namun kurang lebih selama ­+ 3 bulan beliau hanya berkunjung melihat lokasi seraya mengenalkan diri dengan masyarakat sekitar. Dipagi hari beliau datang dan sore hari beliau pulang, bersilaturrohmi kerumah-rumah warga Kembang Kuning dan Pandean menjadi langka awal beliau untuk menjaring sahabat dalam perjuangannya nanti.
Lain hari ketika beliau tak berkunjung ke Kembang Kuning dan Pandean, beliau dirumahnya membuat anyaman bambu dengan dibantu oleh beberapa santri ayahnya, serta menyiapkan bekal yang akan dibawah nanti.
Setelah dirasa cukup masyarakat disekitar yang beliau kenal, dan bekalpun sudah disiapkan, akhirnya sekitar bulan Desember tahun 1984 M, atau bulan robiul awal 1405 H. Dengan mengendarai Truk dan dengan ditemani empat santri ayahnya beliau berangkat menuju lokasi dengan membawa bekal yang sederhana yaitu anyaman bambu (gedek) serta peralatan dan sedikit bahan makanan. Keempat santri itu adalah; Moch. Asy’ari dari Jedong Ngoro Mojokerto, Moch. Sholeh asal Kali Putih Gempol Pasuruan, Abd. Majid dari Bursik Ngoro Mojokerto dan Imam Syafi’i dari Trenggalek.
Setelah beliau dan kempat santri itu tiba dilokasi perjuangan, beliau langsung mendirikan sebuah gubuk kecil persegi empat tanpa atap yang terbuat dari anyaman bambu yang telah dibawah itu, setelah selesai, beliau dan keempat santri itu langsung pulang ke Carat lagi.
Dua hari sesudahnya, barulah beliau memutuskan untuk mengawali dan babat tanah Ngalah, namun sebelum beliau berangkat, beliau mendapat pesan khusus dari sang ayah (Mbah KH. Bahruddin), dan isi pesan itu: “Sholeh.. pesenku mek siji ono kono, gok embong, gok masjid, gok langgar, gok pasar dulurmu kabeh” (Soleh... pesan saya cuma satu disana, di jalan, di masjid, di mushollah, di pasar itu semua saudaramu). Setelah beliau mendapatkan wejangan dari sang ayah, barulah keenam santri yang akan menemani beliau dipanggil, dan dihadapan keenam santri itu Mbah KH. Bahruddin memberikan do’a restu akan perjalanan mereka menemani anaknya yang hendak berjuang dijalan Allah, ”wes awakmu tak izini lan tak ridhani melok Soleh nang Sengon”, (sudah sekarang kamu semua sudah saya izini dan saya restui untuk ikut Soleh ke Sengon).
Berangkatlah beliau dengan enam santri ayahnya yang merupakan cikal bakal babat tanah Ngalah ini, dengan diiringi do’a restu, beliau dan keenam santri itu meninggalkan desa Carat tempat kelahiran beliau, keenam santri yang mempunyai latar belakang ketaatan itu adalah: Moch. Asy’ari dari Jedong Ngoro Mojokerto, Moch. Sholeh asal Kali Putih Gempol Pasuruan, Abd. Majid dari Bursik Ngoro Mojokerto, Imam Syafi’i dari Trenggalek, dan M. Tohari dari Pecalukan Prigen Pasuruan serta yang keenam Abd. Rohim dari Jurang Pelen Gempol Pas.
Dengan sabar dan tabah beliau menjalani kehidupan baru, dengan disertai rasa penuh pengabdian, beliau mengawali perjuangannya. Serta dengan berpakaian sederhana, beliau mencoba menyembunyikan jati dirinya sebagai seseorang yang akan menjadi seorang ulama’ besar dikemudian hari. Suatu prilaku katawadlu’an seorang sufi. Celana hitam, dan bertopi laken menjadi kebiasan beliau setiap hari.
Malam pun mulai tiba, gelapnya cahaya mulai menutup mata, hanya bercahayakan lampu yang berasal dari miyak tanah, suasanapun mulai menyeramkan dengan dikelilingi rerimbunan bambu (Barongan), terlebih lagi banyaknya ular berbisa yang sering kali muncul, terkadang membuat takut para santri.
Keesokan harinya beliau dan para santrinya mulai beraktifias, Dengan peralatan yang sederhana beliau mulai menyangkul sawah, dan meratakan tebing-tebing yang ada untuk dipergunakan sebagai cikal bakal tempat kediaman dan masjid. Namun sebelum beliau membuat kediaman, langkah awal yang beliau lakukan adalah mendirikan sebuah Masjid sebagai sarana ibadah, dan pembelajaran serta untuk mempermudah mengajak masyarakat bermusyawarah dan berkomunikasi.
Hari-demi hari beliau jalanai hal itu bersama keenam santrinya, dengan rasa tabah dan tawakkal. Dan tidak lama kemudian ada beberapa warga sekitar yang mulai membantu perjuangan beliau, diantaranya yang dari kalangan tua adalah Pak Raki, Pak Karjin, Pak Mi, dan lain sebagainya, dan dari kalangan pemuda adalah Khoiron, Basori, dan lain sebagainya. Hal itu beliau jalani selama kurang lebih 3 bulan lamanya. Dengan demikian susah dan sedih sudah menjadi makanan sehari-hari bagi beliau dan para santrinya.
Sebelum masjid dapat didirikan, beliau dan para santrinya selalu melaksanakan sholat di beberapa mushollah yang ada disekitar, namun yang sering beliau jadikan tempat sholat dan tempat mengajar para santri adalah di mushollah bapak H. Huri. Sedangkan untuk tidur para santri di tempatkan di rumah salah satu warga Kembang Kuning yang bernama Mbok Nasiyah.
Setelah beberapa tebing sudah berhasil beliau rakatan bersama para santri dan beberapa warga yang turut membantu, barulah beliau mengajak untuk mendirikan sebuah masjid, namun kondisi keuangan yang ada membuat kebingungan sebagian orang untuk mengawali mewujudkan semua itu. Namun karena adanya tekad yang kuat dari beliau pada akhirnya ada saja jalan keluarnya, dengan telaten beliau dan para santri mencari batu sendiri dari sungai dan kemudian dikumpulkan, beberapa hari kemudian batupun terkumpul cukup banyak dan bisa digunakan untuk mengawali pembangunan masjid itu.
Selanjutnya untuk mencari orang yang mengerti tentang masalah bangunan, beliau diajak oleh salah seorang warga Kembang Kuning yang bernama Pak Raki untuk berkunjung ke rumah salah seorang warga Pandean yang bernama bapak Bari, dan akhirnya beliau menunjuk pak Bari sebagai kepala tukang dalam pembangunan tersebut. Namun dalam perbincangan beliau dengan pak Bari beliau menceritakan kondisi keuangan yang jauh dari kata ada. Dengan tutur bahasa yang halus beliau mengatakan keinginannya untuk mendirikan sebuah Masjid yang hanya terbuat dari anyaman bambu saja, yang penting bisa ditempati untuk sholat dan lain sebagainya.
Seiring dengan pergantian waktu, masyarakat sekitarpun mulai banyak yang mendengar akan keberadaan beliau dan tujuan beliau yang ingin mendirikan sebuah masjid sebagai tempat ibadah dan melaksanakan sholat jum’ah, sontak masyarakat sekitar mulai banyak berdatangan dan membantu beliau, dengan senang hati dan rasa gembira masyarakat pandean, purwo, dan kembang kuning membantu kyai dalam mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan, sebab pada saat itu tidak ada bangunan masjid yang berdiri di sekitar desa tersebut, sehingga untuk melakukan ibadah sholat jum’ah masyarakat harus rela berjalan kaki + 2 kilo m, tepatnya di desa Sengonagung. Hal inilah yang membuat masyarakat selalu aktif dan loyal membatu perkembangan pembangunan masjid dan Pondok Pesantren, bahkan hingga kini keikut sertaan masyarakat dalam perkembangan Pondok Pesantren tidak dapat dielakkan.
Setelah bahan-bahan dan bantuan dari masyarakat terkumpul barulah pembangunan itu dimulai. Bangunan masjid yang terbuat dari gedek (anyaman bambu) itu dibangun dengan ukuran seluas + 15 m2 dan berpondasi batu kali. Pada saat pembangunan dihadiri oleh mbah kyai Bahruddin, mbah kyai Munawir, serta koramil, dan untuk peletakan batu pertama dilakukan oleh mbah kyai Bahruddin baru kemudian peletakan batu kedua dilakukan oleh perwakilan dari koramil. Dengan izin Alloh SWT kurang lebih 17 hari masjid yang terbuat dari bambu itu dapat dirampungkan dengan baik. Dan akhirnya berdirilah masjid yang diberi nama masjid Darut Taqwa II dan resmi ditempati pada hari Jum’at wage tanggal 14 dhul-hijjah 1405 H atau tepatnya tanggal 30 agustus 1985 M. Hari Jum’at itu adalah hari yang sangat bersejarah dimana hari itu merupakan hari pelaksanaan sholat Jum’at yang pertama kalinya di dusun Pandean dan Kembang Kuning. Pada kesempatan itu yang bertindak menjadi Imam Sholat adalah Mbah KH. Bahruddin Kalam dan yang menjadi Bilal adalah bapak H. Qodir sedangkan yang bertindak sebagai khotib adalah Bapak Subadar dari dusun Sengon selaku Mudin Desa dengan tema P4 yaitu Pedoman penghayatan, dan pengamalan Pancasila.
Namun pagi-pagi sebelum sholat jum’ah dilaksanakan beliau membawa semua keluarganya serta ditemani satu santri putri ayahnya bernama Siti dari Banyuwangi untuk ikut serta dalam perjuangan. Hal itu semua sesuai petunjuk dan atas perintah ayahnya.
Usai shalat jum’at dilaksanakan peresmian Masjid pun mulai digelar, dalam acara peresmian itu dihadiri oleh beberapa tokoh masyarakat, muspika Purwosari, Koramil dan beberapa tokoh yang lainnya, hadir pula Mbah KH Munawir, dan beberapa ulama’ lainnya. Dalam kesempatan itu Mbah KH. Bahruddin Kalam menuturkan “sedoyo mawon masyarakat sengonagung khususe pandean-kembang kuning, kulo titip anak kulo, anak kulo tak kengken ngedekaaken pondok lan sekolahan, gak ridlo dunyoo akhirat nek sampek oleh bayaran, nek sampek oleh bayaran tolong sampean elingno, nek gak wani ngilingno, kandaaken kulo, nek kulo pun mboten wonten, kandaaken makne, nek makne wis boten enten dimuen. Anak kulo Sholeh, kulo titipno teng panjenengan, enten klirune segera dielingaken, sebab niki nggeh manungso”.
Setelah satu minggu peresmian masjid digelar, ada salah seorang warga Kembang Kuning yang bernama Bapak Nur Salim datang kepada beliau dan dengan senang hati pak Nur Salim memberikan sebuah gubuk kecil yang terbuat dari anyaman bambu berukuran + 2,5 m2, untuk dijadikan pondok angkring sebagai tempat istirahat para santri. Setelah itu barulah pondok pesantren secara terang-terangan menampakkan jati dirinya sebagai bengkel rohani dan kemudian terus berkembang secara pesat dari tahun ke tahun hingga kini.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.